Jumat, 20 November 2015

UK (Ujung Kulon) Trip

Pulau Handeleum, Ujung Kulon
Sudah lama saya memimpikan ingin menginjakkan kaki di tanah paling ujung barat pulau Jawa tepatnya di Taman Nasional Ujung Kulon. Memanfaatkan libur long weekend yang bertepatan dengan libur nasional hari kemerdekaan RI di bulan Agustus kemarin, akhirnya kesampaian juga saya jalan-jalan ke Ujung Kulon. Bulan Agustus memang bulan yang cocok untuk melaut karena ombak belum terlalu besar dan cuaca juga cukup bersahabat, apalagi Ujung Kulon terletak di bibir samudra Hindia dimana jika sedang ombak tinggi maka perahu nelayan yang biasanya digunakan oleh wisatawan yang hendak eksplore Taman Nasional Ujung Kulon pun tidak berani melaut.

Saya bersama teman-teman berangkat ke Pulau Panaitan, pulau terbesar dan terletak di paling ujung barat di Taman Nasional Ujung Kulon yang menjadi tempat tujuan kami untuk camping / bermalam, dengan menyewa perahu nelayan dari daerah Sumur, Pandeglang, Banten. Berangkat dari Jakarta malam hari dan sampai pelabuhan sumur di Pandeglang tepat sebelum subuh. Keadaan di pelabuhan sumur sendiri layaknya pantai nelayan pada umumnya. Pagi hari di pelabuhan sumur sudah sangat ramai dengan aktivitas warga  Terdapat tempat pelelangan ikan (TPI) dengan ikan-ikan yang masih sangat segar dan baru ditangkap nelayan dari hasil melaut. Kami pun membeli beberapa ekor cumi dan ikan ekor kuning untuk dibakar malam harinya di Pulau Panaitan.

Keramba Ikan Milik Nelayan
Perjalanan panjang kami ke Pulau Panaitan melewati beberapa pulau kecil. Di sepanjang perjalanan kami melihat banyak bangunan di tengah laut yang digunakan nelayan sebagai keramba ikan. Bentuk bangunannya sangat unik. Sayang saya tidak berkesempatan untuk mampir. Hanya saja saya sedikit penasaran bagaimana ya para nelayan itu bisa membangun bangunan itu di tengah laut. jarak antar keramba ikan pun tidaklah jauh mungkin hanya beberapa ratus meter saja dan ada ratusan keramba ikan sejenis di sepanjang perjalanan. wow!

Pulau pertama yang kami kunjungi yakni Pulau Badul, pulau mungil dengan hamparan pasir putih yang luas. Pulau ini sangat kecil dan nyaris tidak terlihat dari kejauhan jika saja tidak ada beberapa pohon bakau yang tumbuh di atasnya. Pulau mungil yang tidak berpenghuni ini menjadikan pulau ini serasa milik pribadi. Pasir putihnya memang sangat menggoda. Hanya saja ketika saya mencoba untuk snorkeling di perairan sekitar Pulau Badul, ternyata masih nampak sisa-sisa terumbu karang yang sudah hancur. Nyaris tidak ada terumbu karang yang tersisa. Sangat disayangkan. Meskipun Pulau Badul menyajikan pemandangan yang cantik di permukaan namun pemandangan bawah airnya masih jauh dari sempurna.

Pulau Badul
Dari pulau Badul, kami melanjutkan perjalanan kembali ke Pulau Handeuleum dengan rimbunnya hutan bakau yang khas. Pulau Handeleum sendiri tidak terlalu luas. Ada banyak rusa di Pulau Handeleum. Ada sisi pantai yang unik di Pulau Handeleum dimana banyak ditumbuhi bekas pohon bakau yang tinggal akarnya saja sehingga menyajikan pemandangan yang sangat menarik. Rusa-rusa disini pun ternyata sangat jinak dan sudah sangat akrab dengan manusia. Asal kita membawa makanan saja pasti rusa-rusa tersebut akan mendekati kita. Hehe. Di Pulau Handeleum juga terdapat kapal yang karam dan bekas rel yang menuju ke laut. Entah mengapa ada rel disitu. Apakah dulu pulau handeleum tersambung ke pulau lain sebelum terjadinya letusan Gunung Krakatau yang meluluhlantahkan pantai pesisir barat pulau Jawa termasuk pulau Handeleum ini. Entahlah!

Pulau Handeleum
Rusa di Pulau Handeleum
Puas ubek-ubek pulau Handeleum, menjelang sore kami pun melanjutkan perjalanan kembali ke Pulau Panaitan yang menjadi tempat tujuan kami untuk berkemah. Sudah menjelang malam ketika kapal  yang kami tumpangi berlabuh di Pulau Panaitan. Kami pun segera mendirikan tenda di salah satu sisi pulau Panaitan yang menghadap pantai karena hari sudah menjelang malam. Tampak beberapa kelompok kecil lain yang juga mendirikan tenda di tempat yang tidak jauh dari tempat kami mendirikan tenda. Pulau Panaitan memang cocok untuk area berkemah / camping  namun sebetulnya area Pulau Panaitan yang  bisa digunakan untuk camping ground  pun terbatas karena sebagian besar area di Pulau Panaitan masih berupa hutan belantara.


Sampai di Pulau Panaitan
Pulau Panaitan
Sampah laut di Pulau Panaitan
Hal yang agak disayangkan dari Pulau Panaitan ialah ternyata pulau ini menjadi tempat sampah-sampah di lautan berlabuh. Sangat disayangkan, pulau yang masih cukup “perawan” dan jarang dijamah manusia ini ternyata pantainya dipenuhi oleh banyaknya sampah lautan. Kebanyakan merupakan sampah botol plastik. Bahkan tumpukan sampah ini sudah saya jumpai di dermaga Pulau Panaitan begitu saya sampai di Pulau Ini. Miris Emang!

Menghabiskan malam di pulau panaitan kami lakukan dengan acara bakar ikan dan cumi yang kita beli dari nelayan pagi harinya. masih sangat segar tentunya. hehe! kita juga bisa memancing di Ujung Dermaga Pulai Panaitan pada malam hari. Garis pantai Pulau Pantaitan sendiri menurut saya biasa saja, mungkin karena kami bersandar di dermaga yang banyak sampah lautannya.

Pantai Pulau Peucang
Pulau Peucang
Bersandar di Pulau Peucang
Keesokan harinya, kami pun melanjutkan perjalanan ke pulau lain yang tak kalah cantik yakni pulau Peucang, pulau dengan lanskap pantai pasir putih yang luas, bersih, dan  keindahan underwater dengan ikan yang berwarna-warni yang sangat sayang jika dilewatkan. Saya akui walau pulau Peucang dikelola oleh swasta, namun pantainya masih sangat bersih dan karangnya pun masih sangat terjaga dengan baik. Pulau Peucang menjadi salah satu pulau yang “must visit” dari sekian banyak pulau di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Sangat singkat perjalanan ke Ujung Kulon, namun pulau terakhir yakni pulau peucang sebagai penutup perjalanan kami eksplore Taman Nasional Ujung Kulon cukup mengobati rasa lelah kami. ^_^

Minggu, 02 Agustus 2015

Eksplore Ho Chi Minh Vietnam

Reunification Palace, Ho Chi Minch
Ho Chi Minh City, kota terbesar di Vietnam, yang terletak di Vietnam selatan merupakan gabungan antara kota metropolitan yang modern, dengan warisan budaya kolonial yang masih terjaga dengan sangat baik. Meskipun Ibukota Vietnam terletak di kota Hanoi yang terletak di Vietnam Utara, namun Ho Chi Minh City telah berkembang menjadi kota metropolitan terbesar di Vietnam. Sempat luluh lantah akibat perang Vietnam yang memporakporandakan negara itu termasuk kota Ho Chi Minh yang dulu bernama Saigon, kini kota Ho Chi Minh telah menata diri dengan sedemikian cantiknya sehingga sangat nyaman untuk dikunjungi. Saya pun menyempatkan diri untuk mengunjungi kota ini selama dua hari satu malam di sela-sela kunjungan saya ke Kamboja pada pertengahan bulan Maret 2015 yang lalu. Menuju Ho Chi Minh saya lakukan dengan menggunakan Bus dari Phnom Penh melewati perbatasan Kamboja - Vietnam.

Depan Museum Perang
Museum Perang
Jalan kaki seharian di pusat kota Ho Chi Minh yang meskipun sedikit terik dan menyengat namun sangat menyenangkan dengan banyaknya taman kota yang cantik dan tertata rapi. Saya yang memutuskan eksplore kota Ho Chi Minh dengan jalan kaki seharian merasa dimanjakan dengan trotoar yang lebar dan taman-taman asri di beberapa sudut jalan. Yang menurut saya agak sedikit menggangu adalah bisingnya lalu lintas di jalan raya Ho Chi Minch karena banyaknya sepeda motor yang terkadang tidak mengindahkan peraturan lalu lintas. Namun karena saya tinggal di Jakarta yang kondisi jalan rayanya 11-12 dengan kondisi jalan raya di kota Ho Chi Minh, maka saya pun cepat beradaptasi dengan kondisi jalanan di sana yang agak sedikit semrawut.

Tempat-tempat menarik yang dapat dikunjungi selama di Ho CHi Minh seperti beberapa museum, reunification palace, post office, catredal dan opera house dengan bangunan-bangunannya yang unik, Letaknya yang saling berdekatan membuat aktivitas untuk mengeksplorasi kota Ho Chi Minh dengan jalan kaki sangat mudah dan nyaman. Museum perang (war museum) merupakan salah satu museum di Ho Chi Minh yang cukup menarik banyak wisatawan untuk datang melihat. Museumnya sih menurut saya biasa saja, namun bagaimana cara pemerintah Vietnam menjadikan museum ini menarik itu yang bikin saya berdecak kagum. Banyak foto-foto pada waktu perang Vietnam yang sangat menyayat hati dan dengan sangat vulgar ditampilkan tanpa sensor. Juga penjelasan-penjelasan yang detail mengenai dampak dari perang vietnam yang telah membunuh 3 juta masyarakat vietnam kala itu menjadikan museum ini menjadi sangat hidup dan  memberikan pengetahuan yang luar biasa.

Catredal
Saigon Post Office
Ho Chi Minh City Center
Banyak bangunan-bangunan peninggalan kolonial yang masih terjaga dengan sangat baik di kota Ho Chi Minh karena sampai sekarang masih digunakan untuk aktivitas perkantoran atau pemerintahan seperti bangunan kantor post yang menjadi tempat "must visit"  juga selama di Kota Ho Chi Minh. Salah satu banguan lainnya yang wajib untuk dikunjungi juga yakni Opera House, gedung tempat digelarnya berbagai pertunjukkan seni dengan arsitektur yang khas eropa karena merupakan gedung bekas kolonial dimana dulu Vietnam merupakan negara bekas jajahan Perancis. Sayang saya tidak bisa menyaksikan pertunjukkan yang digelar di Opera House karena ternyata pada hari itu tidak ada pertunjukkan sementera itu saya hanya berada semalam di kota Ho Chi Minh. Agak susah kalau mau selfie di depan opera house karena banyak orang juga yang lalu lalang di depannya. Hehe!

Depan Opera House
Opera House
Mengunjungi Reunification Palace juga merupakan salah satu aktivitas yang harus dilakukan selama berada di kota Ho Chi Minh. Komplek istana yang merupakan landmark  kota Ho Chi Minh ini dulu digunakan sebagai istana kepresidenan pada waktu Vietnam Selatan belum bergabung dengan Vietnam Utara. Komplek yang sangat luas meskipun saya tidak bisa masuk ke beberapa ruangan karena hanya sebagian ruangan yang dibuka untuk umum, Dengan biaya sebesar 15000 VND atau sekitar Rp 10ribu, saya sudah bisa memasuki komplek Reunification Palace yang sangat luas. Sayang, sedikit sekali petunjuk atau penjelasan terkait dengan ruang-ruang yang ada di dalam reunification palace. Andaikan disediakan guide untuk turis-turis yang datang pasti akan lebih menarik lagi bagi wisatawan.

Depan Reunification Palace
Menghabiskan malam hari di Ho Chi Minh City bisa dengan menyusuri kawasan benh market dengan night marketnya. Di sepanjang kanan kiri jalan di sekitar Benh Market, berderet night market dengan berbagai penjaja street food. Beberapa restoran makanan halal pun banyak bertebaran di sekitar night market ini karena merupakan pusat orang melayu yang tinggal di Ho Chi Minch. Saya pun sempat beberapa kali disangka orang Malaysia pada waktu eksplore night market dan bahkan beberapa penjual di sana bisa bahasa melayu dan mencoba menawarkan barang dagangannya dalam bahasa melayu karena menyangka saya orang Malaysia. Jika kita berniat untuk belanja di night market di benh market, saran saya, tawarlah dengan sangat sadis. Beberapa barang disini harganya sudah dinaikkan. Sempat beradu mulut dengan seorang pedagang yang setengah memaksakan barang dagangannya. Jika kita memang tidak berniat membeli bilang saja tidak minat, jangan malah ditawar karena bakal dikejar  terus. Sempat mencoba beberapa street food mulau dari mie khas vietnam sampai kopi "halal" vietnam. Entah mengapa dinamakan kopi halal?mungkin semacam brand saja. hehe...

Kopi "Halal" Vietnam
Mie Vietnam
Benh Market
Hari berikutnya saya pun menyempatkan diri eksplore seharian ke bekas tempat perang vietnam dan lubang persembunyian para warga vietnam waktu masih perang tepatnya di Chuchi Tunnel. Mencoba masuk ke lubang sempit di bawah tanah tempat bersembunyi warga vietnam sangat seru sekaligus menegangkan. Dan saya baru tahu kalau ternyata panjang "lorong bawah tanah" ini mencapai ratusan kilometer. Wow! Disini pun kita bisa mencoba belajar menembak dengan senapan asli sperti AK16. Penjelasan dari guide sangat bagus. Saya pun bisa membayangkan betapa menderitanya warga Vietnam pada waktu zaman perang. Saya pun terkesima dengan penjelasan guide yang menemani saya dan rombongan turis yang lain yang mengunjungi Chuchi Tunnel karena guidenya merupakan bekas veteran perang Vietnam sehingga dia banyak sekali bercerita mengenai bagaimana kelamnya masa-masa perang Vietnam tersebut.

Masuk Chuchi Tunnel :)
Selama di kota Ho Chi Minh, saya menginap di daerah backpacker de tham dimana banyak hostel-murah. Pilihan saya untuk menginap di daerah de tham juga dengan pertimbangan di daerah ini banyak sekali jasa travel yang menyediakan informasi wisata dengan harga yang saling bersaing satu sama lain. Minusnya daerah ini jika malam terlalu ramai dengan hingar bingar musik dari cafe-cafe dan bar yang memekakkan telinga, mungkin mirip dengan kawasan khao san road di bangkok atau jalan jaksa di Jakarta.

Kota Ho Chi Minh sesungguhnya tidak terlalu berbeda jauh dengan kota Jakarta. Tipikal kota metropolitan yang ramai dengan banyak kendaraan bermotor yang lalu lalang di jalan namun kota Ho Ci Minh tetap worth to visit terutama jika kita menyukai wisata sejarah dengan banyaknya bangunan-bangunan kolonial dan museum-museum yang menawarkan cerita-cerita dari.Tunggu cerita saya berikutnya pada waktu ekslpore kota Mui Ne dalam rangkaian perjalanan saya mengunjungi Vietnam......(Bersambung)

Rabu, 22 Juli 2015

Santai Sejenak di Pantai Sihanoukville, Kamboja

Independence Beach, Sihanoukville
Siapa sangka jika ternyata di negara Kamboja yang tidak terlalu besar, terdapat pantai pasir putih yang sangat indah dengan pulau-pulau kecil nan eksotik di sekelilingnya. Terletak sekitar 6-7 jam naik bus dari ibukota Kamboja, Phom Penh, saya menjumpai sebuah kota kecil di pinggir pantai dengan wisata baharinya yang sangat sayang jika dilewatkan yakni kota Sihanoukville. Saya pun memutuskan untuk mengunjungi Sihanoukville selama dua hari satu malam di sela-sela kunjungan saya ke Kamboja setelah sebelumnya sempat eksplore kota Phnom Penh dan Siem Riep dalam rangkaian perjalanan saya menyusuri negeri Kamboja.

Cerita saya sebelumnya pada waktu eksplore kota Phnom Penh dapat dilihat disini: http://www.aufasidix.blogspot.com/2015/07/eksplore-phnom-penh-kamboja.html

Salah satu sudut pantai di Sihanoukville
Kebanyakan para turis yang ke Kamboja selalu mengunjungi dua destinasi yang utama yaitu kota Siem Riep dengan Angkor Wat-nya atau kota Phnom Penh dengan peninggalan sejarahnya, namun jika kita punya waktu berlebih di Kamboja, maka Sihanoukville wajib dimasukkan ke dalam list. Tidak salah jika pada akhirnya saya memasukkan Sihanoukville di dalam list tempat yang harus saya kunjungi selama di Kamboja karena banyak sekali pantai-pantai eksotik di sini.

Untuk eksplore pantai-pantai di Sihanoukville tidak ada pilihan lain selain harus sewa tuktuk karena memang itu satu-satunya moda transportasi yang bisa digunakan. Tawarlah jika akan menyewa tuktuk dan pastikan tujuan kita ke mana saja karena ada beberapa pantai yang jaraknya lumayan jauh dan berada agak sedikit keluar dari kota Sihanoukville seperti pantai otres yang berjarak sekitar 1 jam dari pusat kota Sihanoukville, menawarkan hamparan pantai pasir putih yang sangat panjang sekitar 5 km.

Berbicara mengenai wisata di Sihanoukville memang tidak jauh dari urusan pantai. Sihanoukville memang terkenal dengan pantai-pantainya. Jadi jika akan ke Sihanoukville pastikan pada bulan yang cukup bagus dan tidak sedang musim hujan. Waktu saya kesini di pertengahan bulan Maret dan beruntungnya cuaca sangat cerah. Mulai dari pagi sampai petang, saya eksplore beberapa pantai seharian di Sihanoukville seperti victory beach, serendipity beach, otres beach, independent beach, ocheateal beach, dan lainnya.

Berikut beberapa pantai-pantai cantik yang sempat saya singgahi :

Shoka Beach
Victory Beach
Victory Beach
Otres Beach

Serendipity Beach
Victory Beach
Serendipity Beach
Ocheateal Beach
Shoka Beach
Homestay tempat saya menginap pun terletak tidak jauh dari bibir pantai, tepatnya pantai Ocheateal, salah satu pantai paling happening di Sihanoukville, hanya berjalan 5 menit saja dari homestay ke Pantai Ocheateal. Pantai Ocheateal merupakan tipikal pantai yang ramai dan lebih cocok buat kongkow-kongkow sama keluarga atau hunting seafood murah. Saya sendiri sempat coba icip-icip cumi panggang dan lobster panggang yang dijual di pinggir pantai Ocheateal. Lumayan enak dengan harga yang cukup bersahabat. 1 USD untuk satu tusuk. hehe

Suasana kota Sihanoukvillenya sendiri sebetulnya cukup sepi. Hanya ada satu buah sueprmarket yang lumayan besar. Patung Singa emas (golden lion) yang merupakan ikon kota Sihanoukville yang terletak di pusat kota pun cukup sepi. Entah mengapa kota Sihanoukville mempunyai maskot berupa singa, mengapa bukan lumba-lumba atau hiu misalnya karena sebagai kota pantai. Haha! Entahlah..

Penjaja Cumi Panggang
Cumi Panggang
Golden  Lion, Sihanoukville Icon at City Center
Dari beberapa pantai, saya paling suka dengan otres beach. Dengan panjang sampai 5km, pantai berpasir putih dengan ombak yang sangat tenang ini sangat cocok buat berenang atau sekedar leyeh-leyeh di pinggir pantai. Apalagi masih banyak beberapa sudut pantai otres yang masih sepi pengunjung. Perjalanan saya explore Sihanoukville memang sangat singkat. Jika saya mengalokasikan waktu lebih  banyak lagi seharusnya saya bisa eksplore pulau-pulau cantik di sekitarnya untuk sekedar snorkeling atau canoing. Namun pantai-pantai bersih dan berpasir putih di Sihanoukville sudah cukup memanjakan mata saya. Sihanoukville, the paradise for beach lover in Cambodia

Berjemur di Otres Beach :p
Perjalanan saya menyusuri pantai-pantai di Sihanoukville ini mengakhiri perjalanan saya eksplore negeri Kamboja. Hanya semalam saya di Sihanoukville. Jika saya punya waktu lebih tentunya saya dapat eksplore lebih banyak ke pulau-pulau sekitar yang ada di Sihanoukville. Keesokan harinya saya harus kembali ke kota Phnom Penh dengan menggunakan bus selama 5 jam untuk kemudian kembali ke Indonesia. Liburan yang sangat singkat namun menyenangkan.

Selasa, 07 Juli 2015

Eksplore Phnom Penh Kamboja

Royale Palace, Phnom Penh, Kamboja
Phnom Penh, Ibukota Kamboja cukup menarik untuk didatangi. Meskipun sebagai ibukota negara, lalu lintas dan kepadatan kota ini masih tidak terlalu ramai. Saya pun menyempatkan diri menginap dua malam di kota ini setelah sehari sebelumnya saya eksplore kota Siem Riep dengan Angkor Wat-nya dalam rangkaian perjalanan saya mengunjungi negeri Kamboja.

Cerita saya sebelumnya pada waktu eksplore Angkor Wat di Siem Riep dapat dilihat disini :
http://www.aufasidix.blogspot.com/2015/06/eksplore-angkor-wat-kamboja.html

Saya menggunakan bus malam dari Siem Riep untuk menuju kota Phnom Penh. Bus Malam di kamboja rata-rata merupakan sleeper bus dimana kita bisa tidur sepanjang perjalanan. Ada banyak pilihan bus malam dari Siem Riep ke Phnom Penh maupun sebaliknya dengan harga yang cukup bervariatif. Saya sendiri pesen bus di hotel tempat saya menginap di Siem Riep dan termasuk antar jemput ke hotel.

Selama di Phnom Penh, saya menginap di daerah central market yang merupakan daerah backpacker. Selain karena murah, pertimbangan lainnya karena lokasi ini berada di pusat kota dan sangat strategis ke tempat - tempat wisata utama di kota Phnom Penh seperti Royale Palace, National Museum, Wat Phnom, dan Silver Pagoda. Sangat pas buat yang ingin menghemat budget karena banyak tempat menarik yang bisa dikunjungi dengan jarak yang berdekatan.

Royale Palace Park, Phnom Penh
Royale Palace merupakan tempat yang secara statistik paling banyak dikunjungi oleh wisatawan yang berkunjung ke Phnom Penh termasuk saya.  Kawasan Istana yang sangat besar dan cantik dengan arsitekturnya yang khas Kamboja sangat mencolok dan kontras diantara bangunan lain disekelilingnya. Terletak di tengah kota Phnom Penh, Royale Palace sangat mudah didatangi. Komplek Royale Palace ini sangatlah luas dan yang paling terkenal dari Royale Palce ini ialah keberadaan Silver Pagoda yang berada di dalam komplek Royale Palace. Di depan royale palace, terdapat taman yang sangat luas dengan ratusan burung merpati yang bertebangan kesana kemari. Indah sekali!

Tidak jauh dari Royale Palace, terdapat museum nasional kamboja, Tampak dari luar museum ini tidak terlalu besar dengan bangunan yang khas arsitektur kamboja dengan nuansa warna merah. Dengan membayar tiket masuk sebesar 5 $, Tidak banyak yang bisa diceritakan di museum ini, meskipun sebagai museum nasional namun ternyata tidak terlalu luas. Museum ini kebanyakan menyimpan barang-barang peninggalan kerajaan angkor di masa silam yang sebagian besar juga ada di Museum Siem Riep. Namun saya suka dengan gaya arsitektur museum yang unik dan terlihat sangat mencolok dibandingkan bangunan disekitarnya.

Cambodia National Museum
Cambodia National Museum
Untuk transportasi di dalam kota Phnom Penh, saya memutuskan untuk menggunakan tuktuk yang banyak bertebaran dimana-mana. Sebetulnya jika sendirian, bisa menggunakan jasa ojek. Hanya saja saya tidak begitu menyarankan jika eksplore kota Phnom Penh dengan menggunakan ojek. Selain cuaca yang sangat panas dan berdebu di jalanan kota Phnom Penh, jarang sekali tukang ojek menyediakan helm untuk penumpangnya. Hal ini saya alami waktu sewa ojek dari hostel saya di kawasan central market ke ladang pembantaian di Chong Ek yang berjarak 1 jam perjalanan. Saya tidak mengenakan helm sama sekali ditambah jalanan berdebu. Wah, kapok saya naik ojek di Phnom Penh. hehe!

Di Kamboja saya memang nyaris tidak menemukan taksi sama sekali. Tuktuk merupakan angkutan yang sangat lazim digunakan oleh penduduk maupun turis termasuk di ibukota Phnom Penh. Satu hal yang harus diperhatikan jika naik tuktuk di Phnom Penh ialah berhati-hatilah dengan bawang bawaan kita, terutama jika kita mau memotret dalam kondisi tuktuk sedang berjalan. saya pernah diingatkan sama sopir tuktuk agar tidak memotret sewaktu di dalam tuktuk karena banyaknya copet yang bisa saja setiap saat menyambar kamera yang sedang kita pegang. Dompet atau kamera pun jangan kita pegang tapi sebaiknya dimasukkan ke dalam tas atau di dalam saku kita. Garis-garis kemiskinan memang masih tampak nyata di beberapa sudut kota Phnom Penh sehingga sangat wajar jika kriminalitas cukup tinggi di kota ini.


Tuktuk
Jika kita berkunjung ke Phnom Penh dan berniat untuk berburu soevenir khas Kamboja, maka russian market merupakan tempat yang sangat pas. Banyak sekali penjaja soevenir dengan harga yang sangat murah disini. Suasanya lebih mirip ke pasar tradisonal dengan kios-kios sempit dan lalu lalang manusia yang penuh sesak tapi justru disitulah seninya. Jangan lupa untuk menawar harga jika kita berburu oleh-oleh di Russian Market seperti yang saya lakukan. Jika kita memang orang yang suka berbelanja, saya pikir kita akan betah berlama-lama di Russian Market ini. Entah mengapa dinamakan Russian Market, apakah dulu banyak orang rusia yang belanja disini atau tinggal di sekitar pasar ini. Saya kurang tahu. Yang jelas, Russian Market merupakan tempat yang sangat oke buat belanja dan berburu souvenir di Phnom Penh. 

Pedagang Souvenir di Russian Market
Independent Monument
Selama di Phnom Penh, saya pun tidak lupa menyempatkan diri mengunjungi Wat Phnom, salah satu Wat terbesar di Phnom Penh. Lokasi Wat Phnom pun tidak jauh dari central market tempat saya menginap. Dengan ukurannya yang sangat besar, Puncak Wat Phnom yang menjulang tinggi sudah terlihat dari kejauhan. Sangat cantik! Dengan arsitektur yang khas Kamboja dan warna pink, terlihat sangat mencolok dibandingkan banguan lain di sekitarnya. Untuk menuju puncak wat, saya harus menapaki beberapa puluh anak tangga menuju ke atas. Di atas Wat Phnom, ada pagoda kecil tempat penduduk setempat bersembahyang. Wat Phnom ini letaknya memang agak di atas sebuah bukit dengan taman-taman cantik yang mengelilingnya. Suasa yang sangat teduh dan tenang membuat saya betah berlama-lama disini.

Masuk Wat Phnom
Wat Phnom
Selama di Phnom Penh, saya pun tidak lupa menyempatkan untuk icip-icip kuliner khas kamboja, salah satunya Amok. Semacam sup dengan kuah yang sangat kental dan aroma rempah-rempah yang sangat kuat. Amok ini sendiri ada 2 macam yaitu Amok Ayam dan Amok Ikan. Rasanya pun saya pikir sangat cocok dengan lidah orang Indonesia. Yummy. Sayang, saya agak susah enemukan makanan khas kamboja yang bisa dibawa pulang ke Indonesia.

Amok, Cambodia Traditional Food
Phnom Penh Street Food
Berbicara tentang Phnom Penh pada khususnya atau Kamboja pada umumnya, tentu tidak terlepas dari sejarah kelam negeri itu waktu dilanda perang saudara di akhir tahun 1970an dimana pada waktu itu kamboja kehilangan lebih dari ¼ dari total populasinya dan dikenal sebagai salah satu tragedi kemanusian terbesar yang pernah ada dalam sejarah dunia. Sisa-sisa pembantaian tersebut masih dengan sangat jelas saya lihat di kota Phnom Penh ini. Saya sempat mengunjungi genoside museum yang dulu merupakan sebuah penjara tempat dimana jutaan orang dari seluruh negeri disiksa dan dibantai disini. Ditampilkan pula foto-foto pada waktu penyiksaan dan alat yang digunakan untuk menyiksa pada waktu itu. Sangat mengerikan!
Alat Siksa di Genocide Museum
Genocide Museum
Saya juga menyempatkan diri ke bekas ladang pembantaian di Chong Ek yaitu tempat bekas pembantaian dan penguburan massal orang-orang yang ditangkap pada waktu kamboja masih di bawah rezim Pol Pot. Saya pun seakan ikut terhanyut dengan tragedi masa lalu itu. Ya, perang saudara di Kamboja pada masa lalu mungkin masih menimbulkan bekas luka yang mendalam di sebagian besar masyarakat kamboja. Ribuan tengkorak manusia masih dipajang di moumen peringatan di Chong Ek sebagai pengingat masa-masa kelam tersebut.

Ribuan Tengkorak di Ladang Pembantaian Chong Ek
Meskipun sekarang Kamboja sudah terbebas dari perang saudara, namun kemiskinan masih sangat terlihat dengan jelas disini. Kamboja seperti masih tertatih-tatih untuk mengejar ketertinggalan dibandingkan negara-negara tetangganya di kawasan Asean yang telah lebih dulu maju. Di Phnom Penh inilah, kita dapat melihat wajah kamboja secara lebih jelas mulai dari sejarah masa lalunya, akulturasi budaya serta kearifan lokalnya.

Tidak lama saya berada di Phnom Penh. Saya pun melanjutkan perjalanan ke kota Sihanoukville di ujung selatan Kamboja yang berjarak 5 jam perjalanan dari Phnom Penh yang terkenal dengan pantai-pantainya. Nantikan cerita saya selanjutnya waktu explore pantai di Sihanoukville dalam rangkaian perjalanan saya menyusuri negeri Kamboja.

....... (Bersambung)