|
Patuxai, Vientiane, Laos |
Laos menjadi negara terakhir dari 10 negara ASEAN yang sudah saya kunjungi. Jujur dari dulu saya memang agak memandang sebelah mata dengan negara Laos, antara minat dan tidak minat mengunjungi negara ini. Saya pikir tidak ada yang menarik di Laos, karena negara ini sendiri seperti terpencil dan diapit oleh negara-negara tetangganya yang jauh lebih terkenal untuk traveling seperti Thailand, Vietnam, dan Kamboja. Karena rasa penasaran saya, dan berbekal tiket promo dari salah satu maskapai, saya pun menyempatkan diri untuk mengunjungi negara ini.
Vientiane, Ibukota negara Laos, menjadi titik awal saya menginjakkan kaki di Laos. Bandara Internasional Vientiane sendiri menurut saya cukup kecil untuk sebuah bandara Internasional. kota Vientiane juga cukup kecil untuk ukuran sebuah ibukota suatu negara. Jalan-jalan sehari juga saya rasa cukup. Banyak tempat wisata menarik yang saya kunjungi selama di Vientiane meskipun hanya sebentar-sebentar. Setelah menukar beberapa uang di money changer di bandara, saya pun berbegas ke pusat kota dengan menggunakan taxi. Tidak ada airport bus di dalam bandara. jika mau naik bus maka harus jalan ke luar bandara sekitar 1 km pun busnya 1 jam sekali datangnya.
|
Indonesia Embassy at Vientiane |
Patuxai, menjadi bangunan yang paling mencolok di pusat kota Vientiane. Bangunan yang menjadi icon kota Vientiane ini memang dibuat mirip dengan Arc de Triomphe di Paris, Perancis. Bangunan serupa juga ada di Indonesia, tepatnya di kecamatan Pare, kota Kediri, Jawa Timur. Waktu saya kesini, suasana cukup lenggang dan hanya terlihat segelintir orang saja yang duduk-duduk di taman depan Patuxai. Sebetulnya kita bisa naik ke atas Patuxai, namun entah mengapa waktu saya kesana tutup dan sepertinya tidak ada petugas sama sekali yang bisa ditanyai. Suasana taman di sekitar Patuxai yang tenang memang sangat cocok buat bersantai. Lokasi Patuxai sendiri sangat strategis dan dekat dengan kawasan kedutaan besar dari banyak negara. Yang paling menarik dari Patuxai ini, terdapat gong perdamaian dunia sumbangan dari Pemerintah Indonesia pada tahun 2008 yang lalu. Gong yang melambangkan perdamaian dan bergambar bendera semua negara dan simbol agama yang ada di dunia.
|
Gong Perdamaian Dunia |
|
Patuxai di waktu malam hari |
Untuk kuliner di Vientiane, tidak banyak pilihan yang tersedia. Saya menemukan makanan mie mirip Pho, mie khas Vietnam. Bagi yang ingin masakan Indonesia, bisa mencoba ke Warung Eko, salah satu restoran yang menyajikan masakan Indonesia. Letak warung makan ini juga sangat strategis yaitu di dekat Kantor Kementerian Luar Negeri Laos dan Kementerian Perdagangan Laos. Pak Supardi, pemilik warung eko dulunya memang berprofesi sebagai juru masak di kedutaan Indonesia di Vientiane kemudian menikah dengan penduduk lokal dan jadilah sekarang Pak Supardi bermukim dan menetap di Vientiane dengan membuka rumah makan khas Indonesia. Nama eko diambil dari nama anak pertama Pak Supardi.
Bagi yang mencari makanan halal ada beberapa restoran vegetarian India dan Nepal di sekitar water fountain, tidak jauh dari kawasan masjid jamik Vientiane, masjid terbesar di Vientiane. Meskipun disebut masjid terbesar, namun ketika saya kesana, masjidnya cukup kecil untuk ukuran masjid jamik. Letaknya memang agak tersembunyi tapi masih di pusat kota jadi gampang untuk dicari. kawasan water fountain ini sendiri juga merupakan tempat nongkrong favorit anak muda di Vientiane pada waktu malam karena ada live music juga.
|
Warung Eko, Restoran Indonesia di Vientiane |
|
Mie Khas Laos |
|
Masjid Jamik dan kawasan muslim di Vientianie |
|
Water Fountain |
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Budha, banyak sekali wat / temple bertebaran di penjuru negeri termasuk di kota Vientiane ini. Pha Tat Luang merupakan wat terbesar di Laos yang terletak di Vientiane. Selain wat terbesar, di kota Vientiane juga terdapat salah satu Wat tertua di Laos yakni Wat Si Saket. waktu saya ke Wat Si Saket di sore hari, suasana cukup sepi. Ada beberapa biksu yang sedang bersembahyang. Meskipun wat ini cukup kecil dan terlihat sedikit kusam karena memang telah berusia ratusan tahun, namun wat ini cukup bagus untuk di datangi karena di sepanjang tembok di dalam wat terdapat penjelasan mengenai sejarah budha dan berbagai arca budha.
|
Wat Sisaket |
|
Di Dalam Wat Sisaket |
|
Kawasan Wat Sisaket |
Ada pula wat yang cukup tua juga di tengah kota VIentiane yakni Black Stupa (That Dam). Walaupun hanya mirip bundaran kecil saja dan tampak tidak terawat karena telah lapuk dimakan usia, namun keberadaan Wat That Dam ini cukup mencolok perhatian karena terletak di tengah-tengah jalan. Tidak jauh dari Wat That Dam, terdapat satu-satunya Mall ayng ada di VIentiane, yakni Talat Sao Mall. Meskipun bangunannya cukup besar namun pada waktu saya kesana, suasana mall cukup lenggang. mungkin karena masih weekday.
|
That Dam |
|
Talat Sao Mall |
Salah satu bangunan unik lainnya di kota Vientiane yang sempat saya kunjungi yakni istana Presiden dan gedung Parlemen. Istana presiden terletak persis di seberang Wat Sisaketn sementara itu gedung parlemen terletak di seberang Patuxay. Tidak terlalu jauh jarak antara keduanya. Meskipun saya tidak diperkenankan masuk, saya cukup puas hanya foto-foto di depannya saja. Bangunan keduanya juga cukup kental dengan nuansa arsitektur bangunan khas Laos.
|
Istana Presiden |
|
Gedung Parlemen |
Menghabiskan malam di Vientiane sebetulnya tidak terlalu sulit walaupun pilihannya cukup terbatas. kita bisa mencoba berbagai restoran yang menyajikan masakan khas laos di sepanjang sungai mekong atau hanya sekedar duduk-duduk di pingiran sungai mekong. Jam 8 malam sudah cukup sepi di kota Vientiane, dan beranjak ke pukul 9 malam, kota Vientiane sudah seperti kota mati. Sepi sekali!
Selama di kota Vientiane, saya lebih banyak
explore dengan jalan kaki karena kebanyakan tempat-tempat menarik yang
dikunjungi bisa dijangkau dengan jalan kaki. Jalanan yang tidak terlalu ramai
membuat jalan-jalan di Vientiane menjadi sangat menyenangkan. Sesekali saya pun
mencoba menggunakan bus kota yang terlihat cukup kuno dan agak jadul walau
busnya sendiri ber AC dan cukup nyaman . Untuk pilihan transportasi lain bisa
menggunakan Tuktuk, namun sewa tuktuk di Vientiane jauh lebih mahal
dibandingkan dengan sewa tuktuk di Thailand atau Kamboja karena emang ukurannya
lebih besar dengan kapasitas sampai 4-5 Orang.
Saya hanya menghabiskan dua hari satu malam di Vientiane. besoknya saya harus meninggalkan Vientiane dan melanjutkan perjalanan ke kota Vang VIeng, sekitar 3 jam perjalanan dari kota Vientiane dengan menggunakan semacam minivan dari terminal utara (North Bus Terminal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar